Mohammad Yamin


Mohammad Yamin dikenal sebagai seorang sarjana hukum, sastrawan, tokoh politik, dan penggali sejarah Indonesia. Dia yang lahir pada tanggal 23 Agustus 1903 di Talawi, dekat Sawahlunto, Sumatra Barat dan meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962, di Jakarta, serta dimakamkan di tanah kelahirannya Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat. Ayah Muhammad Yamin adalah Oesman Bagindo Khatib, Mantri Kopi (koffeiepakhuismeerster) di Talawi juga Kepala Adat di Minangkabau. Karena jabatan itu cukup terhormat dan bergaji besar di zaman Belanda, Oesman Bagindo Khatib mempunyai beberapa istri. Oleh sebab itu, Muhammad Yamin bersaudara seayah 15 orang dari lima orang istri sang ayah. Oleh sebab itu, Muhammad Yamin bersaudara seayah juga dengan Djamaloeddin Adinegoro (dari istri ayahnya yang ketiga, Sadariah, yang berasal dari Talawi). Ibu Muhammad Yamin bernama Siti Saadah yang berasal dari Solok. Istri Muhammad Yamin bernama R.A. Siti Sundari berasal dari Kadilangu, Jawa Tengah.

Selepas tamat sekolah Melayu, ia memasuki HIS dan kemudian melanjutkan ke sekolah guru di Bukittinggi. Yamin juga pernah mengikuti Sekolah Pertanian dan Peternakan di Bogor (1923), tetapi tidak selesai. Pada tahun 1927 ia menyelesaikan pendidikannya di AMS Yogyakarta. Belum puas dengan pendidikan itu, ia masuk Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta hingga selesai tahun 1932 dengan gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum).

Seperti juga pemuda-pemuda terpelajar yang hidup di zaman kolonial, Yamin pun aktif berorganisasi. Tahun 1926—1942, misalnya, ia menjadi Ketua Jong Sumatra Bond dan Ketua Indonesia Muda (1928). Setelah itu, Yamin hampir tidak pernah meninggalkan aktivitasnya dalam organisasi politik kebangsaan waktu itu. Dia pernah menjadi anggota Partindo dan angggota Volksraad. Muhammad Yamin juga menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan, dan perumus UUD 1945, serta pembuat Piagam Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Muhammad Yamin menjadi penasihat penerangan sekaligus anggota Dewan Penasehat Poetera. Tahun 1946 Yamin menciptakan Panca Dharma Corps Polisi Militer dan lambang Gadjah Mada serta penasihat negara dalam Konferensi Meja Bundar, tahun 1949, di Den Hagg.

Selepas merdeka, ia terus aktif dalam membangun negeri ini. Jabatan penting yang pernah disandangnya, antara lain, adalah anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), Menteri Kehakiman (1951) dalam kabinet Sukirman Suwiryo, Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (1952—1955) dalam kabinet Ali Sastroamijoyo, Ketua Panitia Pemilihan Umum tahun 1955, Ketua Dewan Pengawas LKBN Antara (1961—1962) dan Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Menteri Sosial pada tahun 1959, Wakil Menteri Pertama Bidang Khusus, sebagai koordinator Menteri Penerangan dan Ketua Depernas pada Kabinet Kerja III (1962—1963). Tahun 1961 dilantik sebagai penasihat Lembaga Pembinaan Hukum Indonesia. Tahun 1962 ia dilantik sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional dan staf Pembantu Presiden Bidang Ekonomi, dan menjadi Ketua Penerangan Tertinggi Pembebasan Irian Barat.

Sejumlah jabatan penting pernah dipegang Muhammad Yamin. Fakta ini menunjukkan bagaimana peran yang telah dimainkannya dalam perjalanan perjuangan bangsa ini sangat signifikan. Ketika sebagian besar kaum terpelajar kita lebih suka berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda, misalnya, Yamin justru menulis dalam bahasa Melayu, seperti yang dilakukannya dalam majalah Jong Sumatra. Secara sadar, ia hendak mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa yang sesungguhnya yang sangat berpeluang menjadi alat untuk mempersatukan keanekaragaman suku bangsa kita.

Bahasa Melayu diperlakukan Yamin secara kreatif. Hal itu tampak pula dari puisi awalnya yang berjudul "Tanah Air". Puisi yang ditulisnya saat ia masih berusia 17 tahun itu dimuat majalah Jong Sumatra, Juli 1920. Dalam puisinya "Indonesia Tumpah Darahku" yang ditulisnya 26 Oktober 1928, menjelang Kongres Pemuda yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda, ia menyampaikan kecintaan pada bahasa bangsanya dan pada cita-cita mempersatukan beragam suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia.

Gagasan mengenai bahasa persatuan tentulah tidak datang secara tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah proses pemikiran yang matang. Dalam Kongres Pemuda Indonesia I, tahun 1926, Muhammad Yamin terpilih sebagai salah seorang yang memperjuangkan bahasa Melayu agar menjadi bahasa yang dapat dipahami suku-suku bangsa di Indonesia.

Salah satu hasil kongres tersebut berupa materi-materi yang akan dibahas dalam kongres berikutnya. Yamin dipercaya untuk membuat konsep-konsepnya. Salah satu di antara butir konsep itu berisi rumusan tentang bahasa yang tertulis "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean bahasa Melajoe". Setelah melewati perdebatan dan berbagai pertimbangan, dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, disepakati rumusan mengenai bahasa persatuan, sebagai berikut: "Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean bahasa Indonesia". Sebuah putusan penting yang ternyata didukung oleh tokoh-tokoh berbagai suku bangsa, seperti Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, Abu Hanifah, Husein Djajadiningrat, dan Adinegoro. Dengan keputusan itu, bahasa Melayu resmi diangkat sebagai bahasa Indonesia yang memberi kepastian kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam masyarakat Indonesia.

Gagasan Muhammad Yamin mengenai pentingnya bahasa persatuan terungkap pula dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, tahun 1938. Terbukti kemudian bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945.

Peranan Muhammad Yamin dalam mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dan dalam memajukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, diakui pula oleh para pakar sejarah. Hampir semua buku sejarah yang mengangkat peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, selalu menyinggung peranan yang dimainkan Muhammad Yamin, baik sebagai pencetus gagasan diselenggarakannya kongres, maupun sebagai salah seorang tokoh yang merumuskan ketiga butir Sumpah Pemuda, yakni "Bertanah Air, Berbangsa, dan Menjunjung Bahasa Persatuan Indonesia".

Guru Besar Ilmu Sejarah dari Universitas Monash Australia, M.C. Ricklefs, misalnya, mengatakan, "Muhammad...menjadi salah satu pemimpin politik Indonesia yang paling radikal, meninggalkan bentuk-bentuk pantun dan syair dan menerbitkan sajak-sajak pertama yang benar-benar modern dalam tahun 1920—1922". Ricklefs selanjutnya menambahkan, "Yamin menulis sekumpulan sajak yang diterbitkan tahun 1929 dengan judul Indonesia Tumpah Darahku. Sajak-sajak tersebut mencerminkan keyakinan di kalangan kaum terpelajar muda bahwa pertama-tama mereka adalah orang Indonesia, dan baru yang kedua orang Minangkabau, Batak, Jawa, Kristen, Muslim, atau apa saja".

Sebagai politikus terpelajar, selain aktif di lapangan politik dan pemerintahan, Muhammad Yamin masih sempat membuahkan beberapa karya yang sekaligus juga memperlihatkan minatnya di lapangan kebudayaan. Kumpulan puisi awalnya, Tanah Air terbit tahun 1922. Kumpulan puisi berikutnya, Indonesia Tumpah Darahku terbit tahun 1928, sedangkan drama awalnya, Ken Arok dan Ken Dedes pertama kali dipentaskan 27 Oktober 1928 dan baru diterbitkan tahun 1934. Dua tahun sebelum terbit naskah drama itu, terbit pula dramanya berjudul Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932).

Selain menulis karya asli, Yamin juga dikenal sebagai penerjemah. Beberapa karya terjemahannya, antara lain, adalah Menanti Surat dari Raja (1928) dan Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga (1933), keduanya dari karya asli Rabindranath Tagore dan Julius Caesar (1951) karya Willdiam Shakespearwe, sedangkan karyanya yang menyangkut sejarah dan kebudayaan umum, antara lain, Gadjah Mada (1946), Pangeran Dipanegara (1950), dan 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954).

Ajip Rosidi (1975:18—19) Membicarakan Puisi Indonesia Jilid 1 dalam bukunya menguraikan ihwal kepeloporan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa ilmu dan kesusastraan yang modern. Dia turut memegang peran penting dalam Jong Sumatra Bond (JSB) dan menjadi pengemudi majalah Jong Sumatra. Muhammad Yamin, lewat Surat Keputusan Presiden RI, 6 November 1973, dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional. Penghargaan itu sungguh merupakan penghormatan yang pantas. Yamin merupakan salah seorang tokoh pergerakan, pemikir, dan budayawan yang melihat kehidupan bangsa ini ke masa depan jauh melampaui zamannya.