Sapardi Djoko Damono


Sapardi Djoko Damono terkenal sebagai penyair. Di samping itu, Sapardi juga terkenal sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan pakar sastra. Sapardi Djoko Damono lahir sebagai anak pertama pasangan Sadyoko dan Saparian, di Solo, Jawa Tengah, tanggal 20 Maret 1940. Dia berasal dari Solo, tepatnya Ngadijayan.

Sapardi Djoko Damono menikah dengan Wardiningsih, juga dari Jawa. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai dua orang anak, seorang perempuan (Rasti Sunyandani) dan seorang laki-laki (Rizki Henriko).

Pendidikan yang dijalaninya adalah SR (sekolah rakyat) Kraton "Kasatriyan", Baluwarti, Solo, lalu SMP Negeri II Solo. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas, Sapardi kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Sastra Inggris. Dia pernah memperdalam pengetahuan tentang humanities di University of Hawaii, Amerika Serikat, tahun 1970—1971.

Tahun 1989 Sapardi Djoko Damono memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dengan disertasi yang berjudul "Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur". Tahun 1995 ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Sapardi bekerja sebagai dosen tetap, Ketua Jurusan Bahasa Inggris, IKIP Malang Cabang Madiun, tahun 1964—1968. Dia diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra-Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 1968—1973. Sejak tahun 1974 bekerja sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia. Dia menjabat Pembantu Dekan III, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia tahun 1979—1982, lalu diangkat sebagai Pembantu Dekan I pada 1982—1996 dan akhirnya menjabat Dekan pada 1996—1999 di fakultas dan universitas yang sama. Dia memasuki masa pensiun sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia tahun 2005, tetapi masih diberi tugas sebagai promotor konsultan dan penguji di beberapa perguruan tinggi, termasuk menjadi konsultan Badan Bahasa.

Di samping bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Sapardi pernah menjabat Direktur Pelaksana "Yayasan Indonesia" Jakarta (1973—1980), redaksi majalah sastra Horison (tahun 1973), sebagai Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (sejak 1975); sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (1977—1979); sebagai anggota redaksi majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Jakarta (sejak 1983); sebagai anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka, Jakarta (sejak 1987); sebagai Sekretaris Yayasan Lontar, Jakarta (sejak 1987); dan sebagai Ketua Pelaksana Pekan Apresiasi Sastra 1988, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta (1988).

Tahun 1986 di Wisma Arga Mulya, Tugu, Bogor, di depan peserta Penataran Sastra Tahap I dan Tahap II Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, ia mengemukakan argumen untuk mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1988, berhasil diumumkan nama organisasi yang didirikannya, yaitu Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI). Sapardi Djoko Damono terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anggota Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), dan sebagai anggota Koninklijk Instituut vor Taal Land-en Volkenkunde (KITLV).

Dalam usaha mendukung pengembangan kariernya sebagai sastrawan, Sapardi sering menghadiri berbagai pertemuan internasional. Tahun 1971 ia menghadiri Translation Workshop dan Poetry International, Rotterdam, negeri Belanda. Pada tahun 1978 itu juga ia menghadiri Seminar on Literature and Social Change in Asia di Australia National University, Camberra, dan sebagai penulis dalam Festival Seni di Adelaide. Pada tahun itu juga ia mengikuti Bienale International de Poesie di Knokke-Heusit, Belgia. Sejak tahun 1978 Sapardi menjabat Country Editor majalah Tenggara Journal of Southeast Asian Literature, Kuala Lumpur. Sejak 1982 ia tercatat sebagai anggota penyusun Anthropology of Asean Literature, COCI, ASEAN. Tahun 1988 Sapardi menjadi panelis dalam Discussion dan sebagai anggota Komite Pendiri Asean Poetry Centre di Bharat Bhavan, Bhopal, India.

Peranan Sapardi Djoko Damono dalam kehidupan sastra Indonesia sangat penting. A. Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989) menyatakan bahwa Sapardi adalah seorang cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar tahun 1960. Ada perkembangan yang jelas terlihat dalam puisi Sapardi, terutama dalam hal susunan formal puisi-puisinya. Oleh sebab itu, sudah barang tentu sangat perlu mengikuti jejak Sapardi dalam tahun-tahun mendatang. Dia seorang penyair yang orisinil dan kreatif, dengan percobaan-percobaan pembaharuannya yang mengejutkan, tetapi dalam segala kerendahan hatinya, boleh jadi menjadi petunjuk tentang perkembangan-perkembangan mendatang.

Puisi Sapardi dikagumi Abdul Hadi WM dengan alasan bahwa puisi Sapardi banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat sejak akhir abad ke-19 yang disebut simbolisme. Untuk bisa memahami karya-karya Sapardi dengan sebaik-baiknya, kita harus ingat bahwa ia dengan sengaja memilih tetap berada dalam hubungan dengan konvensi-konvensi persajakan.

Pamusuk Eneste dalam bukunya Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (1988) memasukkan Sapardi Djoko Damono ke dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an. Sapardi mengumpulkan sajaknya dalam buku yang berjudul Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-Ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003). Dalam tahun 2001 terbit kumpulan cerpennya berjudul Pengarang Telah Mati. Tahun 2009 terbit kumpulan sajaknya yang berjudul Kolam.

Sebagai pakar sastra, Sapardi menulis beberapa buku yang sangat penting, yaitu (1) Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), (2) Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), (3) Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999), (4) Novel Jawa Tahun 1950-an:Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1996), (5) Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), (6) Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal.

Sapardi menerjemahkan beberapa karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Hasil terjemahan tersebut antara lain Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway), Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James), Puisi Brasilia Modern, George Siferis, Sepilihan Sajak, Puisi Cina Klasik, Puisi Klasik, Shakuntala, Dimensi Mistik dalam Islam karya Annemarie Schimmel , Afrika yang Resah (Song of Lowino dan Song of Ocol oleh Okot p'Bitek), Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra oleh Eugene O'Neill), Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, John Steinbeck), dan sebagainya.

Beberapa penghargaan dan hadiah sastra diterima Sapardi Djoko Damono atas prestasinya dalam menulis puisi. Tahun 1963 ia mendapat Hadiah Majalah Basis atas puisinya "Ballada Matinya Seorang Pemberontak"; tahun 1978 menerima penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia; tahun 1983 memperoleh hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II untuk bukunya Sihir Hujan dari Malaysia; tahun 1984 mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta atas bukunya yang berjudul Perahu Kertas; tahun 1985 menerima Mataram Award; dan tahun 1986 ia menerima hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand. Sapardi juga mendapat Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1990. Dalam tahun 1996 ia memperoleh Kalyana Kretya dari Menristek RI. Tahun 2003 Sapardi mendapat penghargaan The Achmad Bakrie Award for Literature dan tahun 2004 Sapardi memperoleh Khatulistiwa Award. Pada tahun 2012, Sapardi juga mendapat penghargaan dari Akademi Jakarta.